عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -
صلى الله عليه وسلم - مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ
أَخَاهُ فِى الْحَيَاءِ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -
دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الإِيمَانِ
Dari Salim bin
Abdullah, dari ayahnya, ia berkata, "Rasulullah SAW lewat di hadapan
seorang Ansar yang sedang mencela saudaranya karena saudaranya pemalu.
Maka Rasulullah SAW bersabda, 'Biarkan dia! Sesungguhnya malu itu
sebagian dari iman.'"
Penjelasan Hadits
Ayah dari Salim yang dimaksud dalam hadits ini tidak lain adalah Abdullah bin Umar bin Khattab.
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِى الْحَيَاءِ
Rasulullah SAW lewat di hadapan seorang Ansar yang sedang mencela saudaranya karena saudaranya pemalu.
Kata يَعِظُ berarti menasehati, menakut-nakuti, atau mengingatkan.
Dalam hadits Shahih Bukhari yang lain (bab adab, yang insya Allah akan
kita bahas nantinya jika sampai di sana) disebutkan dengan kalimat
وَهْوَ يُعَاتَبُ فِى الْحَيَاءِ (ia mencela sifat malu saudaranya).
Mungkin dalam bahasa kita, laki-laki ini mengatakan "Engkau sangat
pemalu" atau "Sifat malu itu membahayakanmu."
Ibnu Hajar Al
Asqalani menjelaskan kemungkinan bahwa laki-laki tersebut sangat pemalu
hingga ia tidak ingin meminta haknya. Karena itu ia dicela oleh
saudaranya.
Namun ternyata, sikap laki-laki yang mencela atau
menasehati saudaranya dari rasa malu itu tidak dibenarkan oleh
Rasulullah SAW yang saat itu lewat di depan mereka.
دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الإِيمَانِ
Biarkan dia! Sesungguhnya malu itu sebagian dari iman
Inilah salah satu sifat Rasulullah. Bahwa beliau tidak membiarkan
sesuatu yang salah di hadapannya. Beliau tidak mendiamkan sesuatu yang
keliru, kecuali menegurnya. Sebaliknya, segala hal yang terjadi atau
diucapkan di hadapan Rasulullah SAW, sedangkan beliau membiarkan atau
mendiamkannya, maka itu dianggap sebagai persetujuan Rasulullah SAW yang
memiliki legitimasi hukum di dalam Islam. Dalam istilah hadits yang
demikian itu disebut "hadits taqriri" yakni persetujuan dari Rasulullah
SAW.
Maka dalam hadits ini Rasulullah SAW mengingatkan bahwa
yang benar justru adalah tidak menghilangkan rasa malu dalam diri
saudaranya. Biarkan saja seseorang memiliki sifat malu. Ia adalah akhlak
yang disunnahkan. Malu adalah sebagian dari iman.
"Kalaupun
sifat malu itu menghalangi seseorang dari meminta haknya," tulis Ibnu
hajar dalam Fathul Bari, "maka dia akan diberi pahala sesuai dengan hak
yang ditinggalkannya."
Karena sifat malu itu, menurut Ibnu Qutaibah, "Dapat menghalangi seseorang untuk melakukan kemaksiatan sebagaimana iman."
Malu didefinisikan sebagai sikap menahan diri dari perbuatan buruk atau
hina. Sifat malu ini merupakan gabungan dari sifat takut dan iffah
(menjaga kesucian diri).
Pendapat lain mengatakan bahwa malu
adalah takut akan dosa karena melakukan perbuatan yang tidak terpuji.
Ada juga yang berpendapat bahwa malu berarti menahan diri karena takut
melakukan sesuatu yang dibenci oleh syariat, akal, maupun adat
kebiasaan. Pengertian yang disebutkan terakhir ini lebih umum dan
mencakup definisi yang cukup luas.
Pelajaran Hadits
Diantara pelajaran hadits yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah sebagai berikut:
- Kaum muslimin hendaknya selalu memiliki semangat untuk menasehati saudaranya, mengingatkannya dengan penuh kasih sayang, dan tidak berdiam diri dari kesalahan;
- Salah satu sifat Rasulullah adalah meluruskan ketika ada kekeliruan yang beliau ketahui, dan membetulkan kesalahan yang beliau dapati. Sehingga ketika Rasulullah diam terhadap sesuatu yang diketahui beliau, maka itu berarti taqrir (persetujuan) dari beliau;
- Hendaklah seorang muslim memiliki rasa malu dan menjaga sifat itu tetap ada pada dirinya;
- Malu adalah sebagian dari iman.
0 komentar:
Posting Komentar